Menjelang Lima Tahun Padepokan Puisi Amato Assagaf

SulutEkspos.com – Lima tahun Padepokan Puisi Amato Assagaf. Banyak hal yang telah terjadi tapi belum ada yang istimewa, setidaknya belum cukup untuk dianggap istimewa. Meski demikian, itu bukan berarti tidak ada yang cukup bernilai. Sebagai sebuah kelompok, komunitas yang biasa disingkat PaPuA atau Padepokan ini, memiliki dua cara untuk menjadi bernilai. Pertama, sebagai sesuatu bagi sebuah komunitas dan, kedua, sebagai sesuatu bagi masing-masing individu di dalamnya.
Dari perspektif pribadiku sebagai orang yang namanya digunakan bagi komunitas ini, apa yang mungkin paling bernilai dari lima tahun usia Padepokan adalah proses kelompok kecil ini menjadi sebuah komunitas. Di dalamnya terdapat kisah tentang upaya kami mempertahankan Padepokan sebagai komunitas tanpa harus melanggar penghormatan kami pada integritas setiap individu yang tergabung di dalamnya.
Aku sendiri terlalu individualis untuk meleburkan diri dalam sebentuk kolektivitas. Aku bahkan menghindari kata ‘kolektif’ dan/atau ‘kolektivitas’ dalam mengidentifikasi Padepokan dengan cara yang mungkin sangat ideologis. Tapi setelah tahun keempat usia Padepokan, aku sadar untuk tidak membiarkan Padepokan menjadi semata kumpulan individu. Ada sesuatu dari apa yang kami sebut sebagai komunitas. Bagaimanapun juga, PaPuA adalah sebuah “padepokan” tempat berkumpulnya para individu sebagai sebuah komunitas.
Lebih dari itu, setiap orang di dalamnya telah mengambil secara eksklusif sesuatu yang, banyak atau sedikit, telah ikut mencirikan keberadaan individual mereka. Artinya, mereka tidak disebut “padepokawan” (sebutan anak-anak PaPuA) secara sia-sia. Melanjutkan perenungan ini, aku terlibat dalam serangkaian masalah yang bergerak berpindah-pindah antara kepentingan pribadi dan kesadaran sebagai bagian (yang ternyata sangat penting) dari sebuah komunitas bernama Padepokan Puisi Amato Assagaf.
Di tengah konflik itu aku sadar bahwa itulah kesempatan terbaik bagiku untuk menguji apakah Padepokan sudah cukup layak untuk menjadi sebuah komunitas. Yang aku maksudkan, sebuah komunitas nyata dengan atau tanpa aku sebagai pendiri yang disebut, dengan hormat dan kocak, Imam Besar PaPuA. Aku meninggalkan Manado, rahim Padepokan, serta meninggalkan banyak hal yang terkait dengan PaPuA dan segala aktivitasnya.
Aku berniat ke Bali, Jawa atau kembali ke Jakarta tapi berbagai alasan, juga nasib dan pandemi, mendamparkan aku di Kotamobagu. Menemukan cukup banyak pasang mata yang lapar filsafat, politik, dan kesenian (tiga hal yang kami kembangkan di Padepokan). Berdiam di tempat itu, mengajar filsafat dan kesenian, kembali naik motor dan membeli satu motor ikonis yang aku namakan Abnaul, lalu menunggu dengan sabar dan sadar apakah Padepokan akan tetap hadir sebagai sebuah komunitas.
Hasilnya, setelah sekira lima bulan, adalah sebuah kegagalan besar. Padepokan belum mampu berdiri sebagai sebuah komunitas nyata, setidaknya tanpa aku. Markas besar PaPuA terbiar sepi dari aktivitas para padepokawan, bahkan untuk semata kunjungan. Beberapa undangan untuk PaPuA tidak ditanggapi oleh satupun padepokawan. Padepokan mati suri setelah aku meninggalkan Manado.
Ada banyak kemungkinan kenapa itu terjadi tapi aku tidak tertarik untuk membahasnya di sini, kecuali satu: kegagalanku membangun sebuah komunitas nyata. Kegagalan itu datang bukan dari penghormatan kami pada individualitas dan kebebasan para padepokawan. Kepada orang luar, aku selalu berkata dengan bangga bahwa PaPuA tidak bisa dikhianati karena Padepokan tidak menjagokan loyalitas atas komunitas di atas pilihan individual para padepokawan.
Kegagalan itu datang dari kegagalanku sebagai figur yang paling dominan dalam melakukan rekrutmen. Dalam perjalananku dari Kotamobagu kembali ke Manado sekira lebih dari sebulan yang lalu, sebuah ingatan menerjang kepalaku. Aku harus menghentikan motorku setelah sekira seratus kilo meninggalkan Inobonto untuk menghentikan gema ingatan di dalam kepalaku itu.
Gema itu adalah bunyi dari salah satu tekadku ketika pertama kali menuliskan nama PaPuA, aku tidak membutuhkan banyak orang untuk membentuk sebuah komunitas yang aku inginkan, aku hanya membutuhkan sedikit saja orang tapi dengan kualitas yang sesuai harapanku. Bukankah itu alasanku selalu menjaga eksklusivitas PaPuA? Persoalannya sekarang, aku tidak memberi nilai pada eksklusivitas itu. Kenapa? Karena aku terlalu cepat merasa bangga bahwa aku telah membangun sebuah komunitas.
Setidaknya di daerahku, Sulawesi Utara, aku ternyata lebih terkenal dari yang aku kira. Aku sering bertemu orang yang menyapaku tanpa aku tahu siapa dia kecuali bahwa dia mengenalku bahkan dengan kesan yang cukup akrab. Atau sebaliknya, terkadang namaku bahkan lebih dikenal dari aku sendiri. Aku telah beberapa kali bertemu – rata-rata – anak muda yang bicara tentang ‘Amato’ tanpa tahu bahwa dia sedang membicarakannya pada si pemilik nama.
Yang tidak terlalu mengejutkan, aku tahu bahwa ada orang-orang yang sudi menganggap diri mereka sebagai muridku, anak didikku dalam filsafat, politik maupun kesenian. Mereka jelas tidak bisa disebut padepokawan dan bisa aku pastikan tidak terlalu banyak mendengar ajaranku. Di satu sisi, aku lebih suka menanggapi pengakuan mereka sebagai basa basi sosial tetapi, di sisi lain, aku sangat menghargainya. Bisa aku pastikan, tidak ada orang yang cukup gila untuk mengaku sebagai muridku.
Ungkapan terakhir itu meledak keluar dari dalam kepalaku saat aku sedang menikmati kesendirianku di pinggir pantai Malalayang. Aku telah menghabiskan lebih dari sebulan kehadiranku kembali di Manado dengan menyendiri. Di dalam kepalaku saat ini, para padepokawan, dalam masa lima tahun proses kami menjadi sebuah komunitas, hanya tinggal sebagai kawan-kawanku yang sangat dekat. Tak lebih dan tak kurang.
Kenapa? Karena, setelah lima tahun, aku akan kembali membangun Padepokan Puisi Amato Assagaf dalam cara yang digaungkan oleh ungkapan tadi. Ungkapan itu adalah nilai dari eksklusivitas yang akan aku gunakan setelah tahun kelima PaPuA. Secara puitis, aku mengekspresikannya sebagai berikut, “Aku Syams Tabriz, jika kau bukan Rumi jangan mengaku muridku.”
Aku sadar benar, jika ungkapan ini diterapkan dalam PaPuA, maka tidak ada satupun padepokawan yang telah bersamaku selama lima tahun ini yang bisa memenuhi syarat itu. Tapi tak mengapa, aku sendiri tidak pernah merasa sudah cukup mendidik mereka. Atau, dengan kata lain, saat bersama mereka aku sendiri tidak pernah mewujudkan diriku sebagai Syams Tabriz.
Sekarang, setelah lima tahun, aku akan mengganti semua metode terkait seluruh aktivitas esensial Padepokan. Aku akan membuka pintu Padepokan pada siapa saja yang berminat. Menghapus semua eksklusivitas dan mengembalikan segalanya pada masing-masing individu padepokawan. Karena aku yakin, Rumi adalah murid yang menemukan gurunya. Artinya, seorang padepokawan akan menjadi Rumi jika dia bisa menemukan aku sebagai Syams Tabriz. Jika tidak, dia akan menjadi siapapun yang dia inginkan. Hanya saja, aku tak akan mengajaknya menari.
Tepat pada hari ulang tahun nanti aku akan menghapus seluruh badan terpisah dalam Padepokan, yakni Pengajian Filsafat, Publika, dan Akademi Tubuh. Yang akan tinggal hanya satu nama, Padepokan Puisi Amato Assagaf. Sebuah nama bagi kegairahan kita akan filsafat, politik, dan kesenian. Secara paradigmatik, ini berarti kita tak akan lagi berbicara tentang filsafat, politik dan seni dalam bingkai yang membedakan. Secara praktis, ini berarti kita akan berjumpa dalam keseluruhan obrolan itu.
Semua itu akan menyatu dalam praktek dan gagasan yang akan membuat para padepokawan sadar bahwa mendengarkan aku adalah mendengarkan suara yang bergema dari perihnya kegilaan. Jika telingamu tidak berdarah karenanya, itu berarti kau tidak mendengar apapun. Kau akan bebas menjadi siapapun tanpa harus peduli bahwa ada sebuah komunitas yang bernama Padepokan. Tapi jika telingamu berdarah, yakinlah bahwa kau sedang berubah menjadi mimpi yang aku harapkan saat aku pertama kali mendirikan komunitas ini. Itu juga berarti, kau sedang berubah menjadi komunitas ini.
Pada titik itu, aku bisa meninggalkan segalanya tanpa kuatir akan nasib Padepokan Puisi Amato Assagaf seperti di hari-hari terakhir ini. Maka, sekali lagi, ingin aku ingatkan bahwa namaku di dalam nama Padepokan tidak pernah berarti lebih dari sebuah nama karena, sekali lagi, “Aku bukan nama untuk kalian ingat. Aku adalah fajar yang menunggu kalian bangun.”
Manado, September ceria 2021
amato